Pagi
itu atmosfir di halaman kantor Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Raden Fatah
tidak seperti biasanya. Pukul 07.00 lima bus Pariwisata milik Yoanda Prima dan
Epa Star terparkir berjejer di sepanjang
jalan kampus depan kantor Dakwah. Kontan saja jalanan menjadi macet.
Ruas jalan yang kecil yang sebagian lebar badannya sudah diparkiri bus besar.
Orang-orang yang ingin menggunakan jalan pun kelihatan tak sabar. Bunyi klakson
motor dan mobil ramai saling bersahutan. Terlihat beberapa kru bus mengatur lalu
lintas pengguna jalan.
Kami
tiba di kampus pagi itu dengan mengendarai taksi. Karena macet terpaksa turun
di perempatan koperasi. Saya bersama Mom Manalul menarik travel bag
masing-masing. Di punggung ada ransel. Di lengan kanan ada tas tangan. Agak repot
juga. Menoleh ke belakang, ternyata beberapa mahasiswa juga melakukan hal yang
sama. Terjebak macet beberapa meter dari kantor Dakwah. Jadilah mereka pun
menarik travel bagnya.
Senyum
terkembang saat memasuki parkiran fakultas. Rupanya ratusan travel bag telah
lebih dulu parkir di ruang parkir mobil dekan. Entah mobil dekan parkir di
mana. Begitu juga parkiran motor sudah diganti oleh travel bag. Kami pun ikut
memarkir barang bawaan di sana. Belum sempat mengambil napas, sret, sret
diserta kerlip telah menerpa wajah kami. Uh jepret-jepret dimulai. Hiruk pikuk
mulai membuat pening.
Selang
beberapa jam keriuhan itu mulai dikendalikan oleh Wakil Dekan I, Bapak Achmad
Syarifuddin (nama facebooknya Syarif Syarifuddin). Melalui pengeras suara
mahasiswa diminta untuk berkumpul dengan rapi mendengarkan sambutan sekaligus
doa pelepasan dari Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Bapak Dr. Kusnadi,
M.A. (maaf nama facebooknya belum bisa di-share). Suasana menjadi hikmat berdoa
dalam kekhusyukan memohon keselamatan atas aktivitas yang akan dilakukan
selanjutnya.
Ya,
suasana pagi itu memang berbeda. Selasa, 18 Juni 2013 mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi
yang terdiri atas empat jurusan: KPI, BPI, Jurnalistik, dan Sistem Informasi
akan melakukan perjalanan ke tiga kota berbeda:
Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Jumlah mahasiswa 170 orang didampingi
13 dosen pembimbing lapangan (DPL). Hmmm pantas saja riuh ramai Fakultas
Dakwah. Rupanya ada hajatan PPL.
Pukul
08.00 bus siap diberangkatkan. Bismillah. Mahasiswa mulai menempati bus
masing-masing; bus 1, bus 2, bus 3, bus 4, bus 5. Semua sudah tertera dalam
daftar yang dibuat oleh panitia. Nama ketua panitianya Fenny Purwani, M.Kom
(itu tu si bunda Eva...merk mobilnya Evalia; istilah ini hanya untuk rekan
sejawat, tidak untuk yang lainnya). Nah, panitia ini sehari-harinya dibantu
oleh seorang cover boy (saya merekamnya dari Mas Delvi). Tahu kan siapa
orangnya? Yeeee, semua tahulah. Si Kumbang yang selalu ngetem di ruang SI,
Fenando, S Kom. Tour Operatornya tahu juga kan? Orang paling sibuk sejagat;
mondar-mandir, menelpon atau ditelepon, mengatur segala sesuatunya. Badannya
besar tapi langkahnya ringan ke sana ke mari. Dia Delvi Romadoni, A. Md. Par. (SSttt yang ini
tak sengaja kulihat di notebooknya).
Para
DPL pun menempati bus masing-masing. Bus 1 ada nama Ruliansyah, Fenny Purwani,
dan Indrawati. Ternyata pagi itu dapat kabar bahwa Pak Ruli tidak bisa ikut.
Beliau ini punya penyakit maag akut. Nah, penyakit itu muncul tiba-tiba. Cek
per cek malamnya Pak Ruli makan pecel lele. Nasib ya nasib. Terpaksa deh
bongkar koper. Sementara nama yang satunya, bunda Eva kita, Fenny Purwani, naik
pesawat ke Jakarta. Beliau hanya
datang untuk melihat proses
pemberangkatan, menitipkan sepatu dan cemilan di jalan. Jadi, Indrawati sendiri
dong.
Tapi
tidak. Ibu Manah Rasmanah datang menggantikan Pak Komar. Pak Komar dosen SI. Bu
Manah dosen BPI. Tapi tak apalah ikut di bus 1 saja. Saya kan sendirian juga. Ok
deh. Aman.
Tiba-tiba seorang mahasiswa
mendatangi saya.
“Bu, teman kami, Nana belum
datang.”
“Hah, kok bisa. Kan sudah
diberitahu kumpul pukul 07.00.”
“Sudah dihubungi, Bu tapi tidak
ada jawaban. Gimana dong, Bu?”
Sebenarnya
saat itu saya juga gelisah. Ya, harus gimana lagi. Kalau bus ini harus
berangkat sekarang, ya apa boleh buat kita tinggalkan satu orang, Rasna. Dia
ditelepon, tidak diangkat juga.
Sama
sekali tidak ada pemberitahuan. Ya, sudah. Bukan salah kita. Kataku membatin.
Detik-detik
terakhir aku melihat seorang mahasiswa dibonceng dan berhenti di depan bus 1.
Aku segera berteriak. “Bukan itu orangnya ya?” Kawannya segera mendongak dan
betul, dialah orang yang dinanti. Kawannya kegirangan. Rasna bergegas ke bus-1.
Masih di kampus sudah telat?
Bus pun
mulai bergerak perlahan. Meninggalkan kampus dengan segudang rencana dan
harapan. Saat mulai melaju seorang laki-laki berperawakan besar mulai cas cis
cus dengan mic yang tersedia di dalam bus. Ya. Bus itu dilengkapi dengan sound
system dan LCD. Mulailah laki-laki itu memperkenalkan kawannya, driver dan
co-driver.
“Selamat
pagi, Ibu. Selamat Pagi, Adik-Adik. Kami dari Medini Tour dan Travel akan
menemani perjalanan adik-adik. Perkenalkan driver kita Pak Setra.” Laki-laki
itu mulai angkat bicara sambil berdiri menghadap ke mahasiswa.
“Haaaaaaiiiiiiiiiiiiiii
Pak Setra.” Mahasiswa menyambut dengan koor tanpa dikomando.
Lalu
Pak Setra mengangkat tangan, tersenyum sambil, “Haaaai juga.”
Selanjutnya
laki-laki itu memperkenalkan kawannya yang satu lagi.
“Co-driver
kita namanya Mas Bawal.”
Serentak
mahasiswa menyapa lagi, “Haaaaiiiii Mas Bawal.” Senyum Mas Bawal mengembang
membalikkan badannya ke arah mahasiswa, mengangkat tangan lalu, “Hai, semua.”
Giliran
laki-laki itu memperkenalkan diri. “Saya Delvi. Delvi artinya tujuh belas.
Lengkapnya Delvi Romadoni. Jadi 17 Romadan. Kebetulan saya dipercaya untuk
menemani perjalanan Anda.” Saat itu
terbersit tanya dalam hati saya delvi itu bahasa apa, kok artinya tujuh belas.
Tapi tak jadi. Aku senyum-senyum saja sendiri. Dalam hati menunggu giliran
untuk diperkenalkan. Saya yakin di antara mahasiswa itu ada yang tidak mengenal
bu Indra dan bu Manah. Beberapa di antara mereka masih asing buat saya. Saya
tidak pernah mengajar mereka. Menunggu beberapa menit tapi rupanya acara
perkenalan (bukan perkenalan melainkan memperkenalkan diri) pagi itu sudah
selesai. Mau dikenal ni yee, gumamku dalam hati.
Ya,
biasalah pertemuan pertama masih kaku. Sesaat sepi. Pada jam-jam berikutnya
saya minta izin bu Manah untuk tidur sambil baca buku. Tapi tak bisa tidur juga.
Buku baru saya begitu menggoda. Tak bisa saya menutupnya sekejap pun. Rantau 1
Muara, buku ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara. Baru saja dilaunching. Hmmmm,
maaf bu Manah, tidak bermaksud pamer suka baca tapi sungguh, buku itu sudah
dinanti sejak dua tahun lalu. Dan membacanya di bus sangat mengasyikkan. Aku
jadi mengacuhkan ibu Manah. Sementara mahasiswa sudah menyanyi dari tadi.
Sepanjang jalan.
Sekitar
pukul 11.00 rombongan tiba di Rumah Makan Pagi Sore Teluk Gelam. Saatnya
meluruskan badan, mengisi perut, dan bersujud kepada-Nya. Di RM Pagi Sore, para
DPL ditempatkan di ruang VIP (?). Maksudnya ruang khusus yang terpisah dengan
mahasiswa. Berada di sebelah kanan bila memasuki gedung utama dan letaknya di
sebelah kiri bila berjalan keluar meninggalkan gedung utama. Cukup jelas kan?
Di ruang ini sudah terhidang menu untuk para DPL. Boleh pesan minuman. Menunya
rendang, ayam goreng, pecel, kuah gulai (asli hanya kuah tidak ada isi), sambal
hijau, dan tidak ketinggalan krupuk. Makan dengan lahap karena memang perut
sudah lapar. Ada organ tunggal juga. Nikmat. Sementara mahasiswa ditempatkan di
gedung utama dengan menu prasmanan. Mereka membentuk barisan panjang, antre.
Rumah
Makan Pagi Sore Teluk Gelam cukup besar. Halaman parkirnya sangat luas. Bisa menampung
puluhan bus ataupun mobil besar lainnya. Di sisinya ada masjid. Agak terpisah
dari rumah makan. Sambil menunggu waktu zuhur kami duduk di dalam masjid.
Karena kami dalam perjalanan, salat akan dijamak. Shalat zuhur empat rakaat
berjamaah. Setelah itu ditambah dua rakaat untuk ashar. Alhamdulillah. Tak
henti kami berdoa semoga Allah memberi keselamatan dalam perjalanan ini. Tak
pernah terlintas dalam benak kami bahwa cara salat berjamaah yang dijamak dalam
perjalanan menjadi pelajaran penting bagi mahasiswa. Beberapa di antara mereka
ternyata belum paham. Pelajaran pertama bagi yang mengambil hikmah perjalanan
ini.
Sebelum
pukul 14.00 kami sudah meninggalkan rumah makan. Suasana di dalam bus masih
seperti tadi. Full music. Sopir kami, Pak Setra tidak buru-buru. Santai saja
menyetir. Hal ini sangat membantu saya meneruskan bacaan. Malah kami sempat
berhenti menunggu bus yang lain. Rupanya kami melaju sendiri. Jepret-jepret
tidak bisa dihindari. Narsis amat foto di tengah jalan. Ya, berdirilah, ya duduklah.
Bus 2
di bawah asuhan coverboy kita, Pak Nando. Mestinya dengan Pak Aminullah. Tapi
karena ada urusan di Jakarta, jadi duluan naik pesawat. Travel bag dititip di
bus. Hm... Pak Nando sendirian. Kaum Hawa penghuni bus ini bersorak. Setidaknya
ada pemandangan segar penghalau rasa capek di jalan. Grrrrr. Benar kan?
Bus 3
dikawal lengkap oleh bu Nuraida (sering disapa bu walkot; terbatas), bu
Muzaiyanah, dan Pak Puji Edi (Mas Pijay,ini juga untuk kalangan terbatas).
Rupanya di bus ini tidak ada musik. Tidak ada radio. Aduh kasihan benar deh.
Jadi ngapain saja ya mereka? Eiiit... jangan salah. Justru karena tidak ada
fasilitas itu mereka unjuk kebolehan. Kreativitas mereka muncul. Nyanyi
sendiri, bersahut-sahutan, ngamen juga barangkali, aneka macam deh.
Bus 4
dijaga ketat (kok?) oleh Mom Manalullaili, dan Pak Aji Isnaini. Harusnya ada
Pak Achmad Syarif juga. Tapi beliau sudah tiba duluan di Jakarta. Naik Pesawat. Penumpang bus ini adalah
mahasiswa KPI. Menyanyi di bis itu sudah pasti. Lainnya, seruan yang tak kalah
membuat merinding bulu kuduk. Tasbih, tahmid, dan tahlil berkumandang di sini.
Bus 5
yang ditumpangi oleh mahasiswa BPI dikomandoi oleh bu Neni Noviza dan pak Ainur
Rapik. Bapak ini penggemar berat Rhoma Irama. Jadi, sepanjang jalan full music
dangdut dari bang haji. Tapi tentu saja sesekali diselingi musik yang lain.
Malam
menjelang. Rombongan tiba di RM. HR. Putra Way Jepara di Lampung Selatan. Untuk
sampai ke pelabuhan Bakaueni kira-kira diperlukan waktu tiga jam lagi. Saatnya
sekarang makan malam dan bersujud kepada-Nya memohon keselamatan. Tour operator
memperingatkan untuk tidak terlalu lama menghabiskan waktu. Di penyeberangan
sedang ada antrian panjang. Maka kami pun bergegas.
Dari
sini semua bis berjalan beriringan. Kami berharap sesampai di pelabuhan kelima
bis ini dapat menyeberang bersama. Semua harap-harap cemas. Tak ada lagi
karaoke. Jalan yang kami lalui pun unik. Menurut Mas Delvi, di sepanjang jalan
itu ada 13 titik jalan rusak. Beberapa meter rusak beberapa meter bagus lagi lalu
rusak terus bagus lagi. Aneh. Setiap jalan rusak sopir harus mengeluarkan uang
sepantasnya bagi warga yang kebetulan sedang bertugas(?) di situ. Bila
tidak,waduuh .... Pengalaman ini menjadi menarik menyadarkan kita begitu banyak
persoalan yang belum selesai di republik ini. Sekeliling sunyi. Aku menduga semua tenggelam dalam doa.
Pukul
24.00 semua bus sudah berada di kapal penyeberangan. Segera mahasiswa
menghambur mencari tempat istirahat. DPL pun tak ketinggalan. Mahasiswa boleh
menempati ruang mana saja asal tetap berhati-hati dan waspada. Tas, dompet, dan
barang bawaan lainnya tidak boleh lalai dari pengawasan sendiri. Peringatan ini
kami sampaikan berulang-ulang kepada mahasiswa. Selain itu petugas kapal juga
memberikan peringatan yang sama. Tapi tetap saja ada yang naas. Kehilangan
dompet.
Suasana
di kapal padat penumpang. Tak ada tempat untuk merebahkan diri. Hanya bisa
duduk. Sesekali ombak menghantam badan kapal. Kapal terasa oleng ke kiri ke
kanan. Ternyata komandan bus 3 Mom Manal ketakutan. Beliau takut kedalaman.
Hah? Baru tahu kan? Arus lalu lintas laut dini hari itu sangat ramai. Kapal
yang kami tumpangi rupanya mengalami delay juga. Kami terlambat tiba di
pelabuhan Merak. Sesaat melirik jam sudah pukul 04. 15.
Dalam
itinerary bila rombongan bisa berlabuh
di Merak pukul 03.00 maka salat subuh dan bersih-bersih diri bisa dilakukan di
Masjid Istiqlal. Tapi rencana ini kemudian berubah. Bukan salah siapa-siapa.
Situasi di penyeberangan menjadikan kita harus punya alternatif. Salat subuh di
rest area yang ada di beberapa titik jalan tol menjadi pilihan.
Mandi?
Tunggu dulu. Bukan di sini tempatnya. Lanjutkan perjalanan. Ke rest area
berikutnya? Oh, ternyata tidak juga. Mandi bukan di sini. Tour operator beserta kru membawa kami ke
water boom. Asyiik. Bisa berenang nih. Hmm.... Rupanya rombongan ini datang
terlalu pagi. Water boom belum buka. Mas
Delvi dan kawan-kawan sibuk. Mukanya tegang. Negosiasi mungkin? Agak lama juga.
Lalu mereka kembali ke bus masing-masing.
“Tidak usah mandi ya!” Mas Delvi menyampaikan dengan muka kuyu.
“Huuuuuuu,” mahasiswa kecewa. Tapi
melihat usaha tour operator beserta kru, apa boleh buat. Inilah pelajaran
kedua. Berdamai dengan keadaan yang tidak diinginkan, tidak panik, dan segera
mengambil tindakan.
Di bus
1 saya mencoba menenangkan mahasiswa, “Kita boleh berencana tapi kadang rencana
kita tidak sesuai harapan. Ayo, lakukan sesuatu. Ganti baju. Bersihkan muka,
berdandan.”
Saya
sendiri berjalan ke belakang menuju kamar istirahat sopir. Di sana saya
mengganti pakaian. Keluar dari kamar itu dengan pakaian baru. Berhasil.
Mahasiswi mengikuti. Hingga semua beres. Saatnya sarapan. Nasi kotak makan di
mobil. Lupakan soal mandi.
Daripada
menggerutu tidak mandi, lebih baik bergegas menuju UIN Syarif Hidayatullah.
Sesuai jadwal mereka akan menerima rombongan pukul 09.00. Mungkin di sana bisa
numpang kamar mandi. Sekadar menjawab panggilan alam.
Memulai
langkah di Jakarta
Tanpa
istirahat dan tanpa mandi kunjungan ke UIN Jakarta dimulai. Kecewa? Tidak lagi
tuh.
Semangat.
Buktinya, jepret sana jepret sini. Hasilnya? Tidak ketahuan kalau rombongan ini
tidak mandi. Cantik-cantik dan gagah-gagah. Tak ada lagi wajah merengut. Semua
sadar kamera. Action.
Di UIN
Jakarta, rombongan mulai berpisah. Bus 1 dan 2 yang beranggotakan mahasiswa SI
menuju Fakultas Sains dan Teknologi. Bus
3, 4, dan 5: Jurnalistik, KPI, dan BPI menuju Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
Fakultas
Sains dan Teknologi. Jurusan SI diterima oleh rombongan dekanat di sebuah ruang
terater. Hadir Dekan, Wadek I, Wadek II (mantan kajur SI), Ketua Lab, dan
beberapa dosen lainnya. Mereka memulai presentasi. Tanya jawab berlangsung.
Mereka bersedia menerima bila ada mahasiswa yang ingin menjalin kerja sama
dengan jurusan yang ada di sana. Mahasiswa mereka aktif melakukan penelitian
dan juga melakukan banyak hal. Dialog ini memacu semangat dosen dan mahasiswa
untuk segera berbenah. Setelah dialog
jangan lupa menikmati snack box yang disediakan oleh tuan rumah.
Keluar
dari fakultas, rombongan SI diantar ke laboratorium center. Laboratorium di
sana adalah laboratorium terpadu. Berpusat di satu gedung. Lab SI maaf lupa di
lantai berapa. Pokoknya naik lift menuju ke tempat itu. Beberapa mahasiswa
mencoba beberapa peralatan. Ya, memang fasilitasnya berbeda dengan kita. Tentu
saja. Dan sangat tidak layak bila membandingkannya dengan keadaan kita. Toh
mereka sudah memulainya jauh sebelum kita memulai. Maka wajar bila kita
berbeda. Untuk itulah kita ingin melihat dan belajar kepada mereka.
Fakultas
Dakwah dan Komunikasi. Rombongan ini: KPI, BPI, dan Jurnalistik juga diterima
oleh rombongan dekanat dan jurusan di sebuah ruang teater. Pihak UIN Jakarta
telah menyiapkan penyambutan yang wahhhh. Ada perkenalan. Lalu presentasi dari
setiap jurusan. Setelah itu baru diantar ke jurusan masing-masing. Tidak
ketinggalan menjelajah ke ruang lab. Mereka punya laboratorium radio, televisi,
foto, dan percetakan. Woooow super lengkap. Di ruang ini juga berfungsi sebagai
ruang konseling. Mahasiswa mampu membuat film dokumenter. Dan itu ditayangkan
di hadapan mahasiswa. Amazing. Eiiit, jangan lupa mahasiswa KPI, Didi Mudiono,
mencoba lab radio. Dia on air. Kereeeeeen. Yuk, semangat. Gali lebih banyak
lagi ilmu mereka.
Masih
di Fak. Dakwah. Rombongan ini dijamu makan siang. Sebenarnya rombongan SI juga
diajak. Tapi karena harus meninggalkan lokasi, jadinya makan siang di bus. Tak
mengapalah. Dalam ramah-tamah itu
seorang DPL kita disangka dekan. Beliau kajur Jurnalistik (bu walkot). Iiiiiii
grrrrrrrrr. Tidak mandi saja sudah disangka dekan. Gimana kalau mandi yeeeeeee?
Azan
zuhur berkumandang. Segera kami menunaikan salat di masjid kampus. Adem
rasanya. Sejuk. Setelah kunjungan ke UIN Syarif rombongan harus berpisah lagi.
Bus 1 dan 2 ke Trans 7, BPI ke klinik Dadang Hawari, KPI dan Jurnalistik ke
manajemen Indosiar.
Di
Trans 7. Mahasiswa diajak melihat proses produksi Overa Van Java. Rombongan
kami tiba lebih awal. Itu permintaan dari pihak manajemen. Bila tidak,
rombongan tidak boleh masuk. Aduuuh, jangan sampai. Ternyata mereka sangat
disiplin. Itu salah satu etos kerja yang harusnya dilirik oleh semua orang,
termasuk mahasiswa dan DPL-nya. Bayangkan saja. Di depan studio ada kursi
kosong. Saya permisi untuk duduk di situ tapi tidak diizinkan security. Wooow
luar biasa. Tapi itulah aturan kerja mereka. Selang sejam menunggu duduk
berjejer di parkiran di bawah terik matahari, rombongan dipanggil memasuki
studio. Ohhhh.... Beginikah rupanya kerja para kru televisi. Teratur, disiplin,
tidak banyak suara lebih banyak menggunakan kinestetik. Semua aba-aba
menggunakan gerak tangan. Sebelum syuting OVJ, kru mengumumkan akan ada
pemilihan pemeran pembantu. Deg-degan ya? Atau malah was-was: jangan saya
(soalnya belum mandi haha). Yang hadir di studio saat itu dari berbagai daerah.
Ada rombongan dari Malang, ada rombongan sekolah kejuruan dari Semarang, dan
juga dari daerah lain. Ternyata... oh ternyata. Nasib baik berpihak kepada
mereka yang tidak mandi. Salah satu mahasiswa SI, Lukman terpilih menjadi pemeran pembantu. Ho
hoooooi. Beruntung sekali kamu. Apa wajahnya mirip Sule ya? Entahlah. Kalian
yang belum kenal boleh kenalan sama dia. Pernah syuting OVJ lho.
Di
Klinik Dadang Hawari. Bus 5 rombongan BPI menuju Madani Health Care. Tempat ini
adalah klinik untuk merehabilitasi pengguna narkoba dan penyakit jiwa lainnya.
Letak klinik ini berada di tengah permukiman penduduk. Tidak tampak sebagai
klinik. Model klinik ini adalah rumah seperti rumah penduduk lainnya. Rumah ini
disumbangkan oleh ketua yayasan pemilik klinik dan menerapkan metode
penyembuhan ala Dadang Hawari. Kenal dengan Prof. Dadang Hawari? Bila tidak
segeralah berkenalan setidaknya lewat karyanya. Berkunjung ke klinik ini sangat
menggugah hati. Mahasiswa berdialog dengan mantan pengguna narkoba. Santri
(sebutan untuk pasien) ini mengaku sangat menyesal dan tidak ingin terjerumus
lagi. Santri? Ya. Orang-orang yang direhab di tempat itu disebut santri. Metode
Dadang Hawari ini meliputi penyembuhan fisik, psikis, sosial, spiritual dan
pembinaan keterampilan. Mengagumkan. Ada hal sederhana yang membuat mahasiswa
terhentak trenyuh. Saat masuk ke rumah itu mereka membuka sepatu dan
meletakkannya semrawut. Begitu pamit pulang, sepatu mereka sudah disusun rapi
oleh santri yang sedang direhab itu. Subhanallah. Apakah kita dapat mengambil
pelajaran dari ini semua?
Di
Manajemen Indosiar. Bis 3 dan 4: KPI dan Jurnalistik berkunjung ke Indosiar.
Mereka disambut oleh pihak manajemen. Manajemen Indosiar memberikan sambutan
dan beberapa penjelasan tentang
aktivitas yang dilakukan di studio khususnya di studio 5. Lalu mereka mengajak
rombongan mengelilingi studio dan melihat-lihat beberapa persiapan tayangan
indosiar. Mahasiswa dapat melihat langsung alat-alat dan properti yang
digunakan bila ingin syuting. Beberapa tayangan dilakukan dengan dubbing.
Mahasiswa penasaran dan segera bertanya seperti apa sih proses dubbing itu.
Selepas
magrib bus 1 dan 2 meninggalkan Jakarta menuju Bandung. Sementara bis lainnya
masih harus mengikuti proses produksi tayangan
Bukan empat mata di Trans 7. Rombongan BPI, KPI, dan Jurnalistik bertemu
kembali di studio itu. Sssssssttttt. Ada yang dapat hadiah baju kaos. Ceritanya
begini. Pak Tukul menyapa penonton di studio. Kebetulan Adnan, mahasiswa KPI
duduk di depan. Pak Tukul menunjuk Adnan dan menyapa,” Kamu belum mandi ya? Kok
bau banget?” Dengan lugas Adnan menjawab, “Ya.”
Lalu dia berbisik ke Mom Manal,” Kok Pak Tukul tahu saya belum
mandi?” Ahh...dasar Adnan.
Perjalanan
menuju Bandung. Bus 1 dan 2 berangkat lebih awal. Bus lain meninggalkan Jakarta
sekitar Pukul 22.00. Tidak banyak yang dapat diceritakan di sini. Semua sudah
lelah. Setelah makan malam di bus mahasiswa tertidur. Bus 1 dan 2 check in di
hotel Baltika Bandung sekitar pukul 22.00. Segera saja kami menghambur masuk ke
kamar masing-masing. Tarik napas, lemparkan badan ke atas kasur. Oo, nikmatnya.
Setelah tidak pernah merebahkan badan selama hampir dua hari dua malam.
Setelah
istirahat sejenak, mandi lalu salat. Teringat besok pagi harus check out saya
menemui beberapa mahasiswa di lobby hotel untuk menyiapkan pakaian ganti di tas
masing-masing. Sebagian dari mereka sedang menikmati suasana sekitar hotel.
Saya melihat penjual wedang keliling. Mencoba menikmatinya semangkuk. Hmm.
Hangat. Karena sudah larut malam kami kembali ke kamar. Bu Manah, teman sekamar
saya tiba di hotel sekitar pukul 03.00
dini hari. Terlihat beliau kelelahan.
“kriing...kring..” Telepon
genggam saya berdering. Ibu Muzayana? Kok nelpon pukul 04.00.
“Hoi, bangun salat subuh. Enak
saja tidur terus.” Ibu Yana berteriak di telepon.
“Oi, tidurlah dulu. Belum
waktunya. Dikit lagi.” Balasku tak bergairah.
“Oi, bangun. Kami ini baru
sampai. Mobil kami rusak.”
“Astaga, jadi?” Barulah aku
antusias bertanya.
“Ya, sudah. Solat dulu baru
tidur.”
Telepon
genggamnya berhenti bercuap-cuap. Kasihan deh. Ternyata sebelum sampai bus 3
rusak di jalan tol Buah Batu. Tour Operator segera mengirimkan bus 5 untuk
menjemput mereka. Terbayang kegundahan di hatinya. Tapi kita harus yakin bahwa
ada hikmah di baliknya.
Mengukir
Kenangan di Bandung
Pagi
merekah di hotel Baltika. Ritual pagi tidak boleh terlewatkan. Sarapan. Di
resto hotel sudah tersedia hidangan prasmanan. Makan dengan lahap untuk
menyiapkan energi buat aktivitas selanjutnya. Lalu siap check out. Eiiitttt,
tunggu dulu. Mom Manal dan bu Neni kok belum kelihatan? Telepon ah.
“Hai, sarapan. Kita sudah
bersiap check out.” Demikian aku menelponnya.
“ Hah, jam berapa sekarang?”
Mom menyahut dari sana.
Pukul
07.00 rupanya mereka belum terbangun. Akibat kelelahan semalam barangkali. Lalu
mereka pun berkemas. Travel bag kembali memenuhi lobby hotel. Senyum mereka tersungging. Semangat.
Sepertinya rasa lelah sudah hilang. Apalagi di depan hotel ada pemandangan
segar. Sejumlah dagangan digelar di jalan depan hotel. Ramai kerumunan di sana.
Tak ketinggalan kilauan blitz, jepret-jepret. Jangan sampai ada yang tidak
terekam dalam gambar.
Hari
ini hari ketiga. Kamis, 20 Juni 2013. Setelah check out di hotel Baltika,
rombongan akan berpisah lagi. SI ke Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Bandung. BPI ke Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), dan KPI serta
Jurnalistik ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Di
LAPAN, rombongan tiba sekitar pukul 09.00. Dijemput oleh petugas piket.
Mahasiswa diminta berbaris menggunakan jaket almamater. Jadilah barisan hijau
panjang. Dikomando oleh petugas piket perempuan diantar ke aula di lantai 3.
Waduh, kesannya kayak di militer gitu. Rombongan disambut oleh ketua bidang
teknologi dan pengamatan. Selain itu juga telah hadir dua orang pembicara.
Mereka adalah peneliti yang berlatar belakang keilmuan sistem informasi.
Berbagai hasil penelitian ditayangkan serta peran penting sisitem informasi di
LAPAN. Mahasiswa sangat antusias
menanyakan berbagai hal. Tergambar bahwa banyak pengalaman baru ditoreh di
tempat ini. Juga terbuka kesempatan bila ingin melakukan kerja sama penelitian.
Sebelum pukul 12 , acara selesai. Istirahat beberapa jenak, sholat zuhur di
LAPAN, rombongan akan ke Cibaduyut.
Di
STKS. STKS adalah satu-satunya sekolah kedinasan di bidang pekerjaan sosial
yang berada di bawah kemensos. Mahasiswanya berasal dari seluruh provinsi yang
ada di seluruh Indonesia dengan kuota terbatas hanya lima orang setiap
provinsi. Kuota ini bisa ditambah khusus
untuk daerah rawan konflik dan bencana. Berkunjung ke tempat ini memberikan
wawasan kepada mahasiswa tentang pentingnya studi konseling dan kesejahteraan
sosial. Di tempat ini beberapa mahasiswa mencoba berbagai alat untuk mengetes
kesehatan. Juga terdapat ruang konseling dengan model standar.
Di LIPI
Bandung. Rombongan KPI dan Jurnalistik diterima di aula. LIPI memberikan
presentasi mengenai hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan. Memang penjelasan dari LIPI lebih
mengarah ke penelitian berbasis IPTEK yang humanis. Tapi jangan salah ya.
Orang-orang komunikasi dan jurnalistiklah yang berperan untuk
mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Dialog pun berlangsung. Pastilah ada
hal yang meninspirasi dari tempat ini.
Siang
hari setelah kunjungan, rombongan bergerak ke Cibaduyut. Sentra kerajinan kulit
dan sepatu. Ya, tempat ini memang tempat wisata belanja. Setelah beberapa hari
melakukan kunjungan ilmiah, wajar kalau mengunjungi tempat-tempat khusus di
kota itu. Jadi bis 3 dan 4 parkir di Gruffi sementara bis 1 dan 2 parkir di
Oval. Semuanya daerah Cibaduyut. Sssssstttt. Ada yang garing lho. Ada orang
ditinggal bis. Kasih tahu nggak yaa? Ah, browsing aja sendiri.
Pukul
16.00 rombongan akan melanjutkan perjalanan ke Yogya. Sebelumnya mampir
dulu makan malam dan salat di RM.
Sukahati Cipancing. Di tempat ini kami istirahat agak lama. Menunggu bus
pengganti yang rusak kemarin. Semua menunggu dengan gelisah. Ada nggak ya? Kok
lama? Jam berapa? Beragam pertanyaan muncul. Sesekali muncul pikiran negatif. Tapi ah... menunggu sajalah. Toh, tour
operatornya sudah meyakinkan bahwa busnya sedang menuju ke rumah makan. Ayo,
nikmati saja tempat ini. Di Sukahati
begitu ramai. Banyak sekali bus antarkota yang parkir. Maka bisa
ditebak. Pedagang juga banyak. Wa..s...pa...daa....Di sini seperti pasar malam.
Banyak sekali jenis barang yang ditawarkan. Souvenir. Ah, sayang kalau
dilewatkan. Beli sedikit sebagai tanda pernah parkir di Sukahati. Jepret-jepret
tentu saja tak bisa diabaikan.
Di
rumah makan ini masih ada cerita garing. Jadi, DPL makan di ruang khusus. Menu
prasmanan. Ada sup, tahu, dan perkedel. Sebelahnya mirip tempe. Potongannya
persis tempe; segi empat seukuran tiga jari berbumbu kuning. Dalam hati, kok
tumben makan kali ini lauknya tempe tahu. Tapi tetap juga ambil sepotong yang
mirip tempe itu. Dari penampilannya kayaknya enak. Dibaluri bumbu. Ambil.
Makan. Habis.
Setelah
tandas baru bertanya,”Tempe tadi dimasak apa ya? Bumbunya enak.”
Spontan
pertanyaan saya disambut tawa oleh DPL lain.
“
Jangan-jangan, di rumah, makan tempe terus, jadi daging pun sudah rasa tempe.”
“Grrrrrrr.
Hahahahha. Udah berapa lama tidak makan daging, Bu?” Yang lain menimpali.
“Astaga,
jadi yang tadi itu daging. Astagfirullah.” Begitu kuatnya pikiran dapat
mempengaruhi seseorang. Dari awal melihatnya saya yakin bahwa itu tempe. Hingga
gigitan terakhir tak pernah terbersit dalam hati saya bahwa itu daging.
Astagfirullah. Saya tertawa-tawa sendiri mengenangnya. Apa mungkin saya
mengalami gangguan psikologis. Toloooooong. Bus yang ditunggu akhirnya tiba.
Alhamdulillah. Seruan lega. Perjalanan bisa dilanjutkan kembali. Kali ini bus
pengganti full music. Mereka bernyanyi sepanjang jalan. Balas dendam ni yee. Perjalanan
menuju Yogya lewat jalur selatan. Naik turun tanjakan berkelok-kelok tajam. Tak
sedikit pun saya dapat memicingkan mata. Mahasiswa yang tidak tahan dengan
kondisi ini mulai pening, mual, bahkan ada yang muntah. Untung saja P3K telah
disiapkan oleh pihak travel lengkap dengan kantong plastik tempat muntah. Tapi
telat ada yang sudah muntah duluan. Ditadah di bajunya kali. Atau di selimut.
Iiih jorok. Maafkan saja ya. Namanya muntah kan tidak minta izin dulu langsung
muncrat saja. Selanjutnya masih harus memperhatikan kondisi mahasiswa.
Sepanjang jalan ada saja yang minta obat. Yang paling laris adalah obat anti
mabuk. Sebelum masuk Yogya, kami mampir salat subuh di pom bensin. Biar lega
dan tidak terburu-buru. Di ufuk timur, mentari telah memerah menyambut
kedatangan lima bus dari Palembang.
Mengurai kharisma Yogya
Jumat,
21 Juni 2013. Hari keempat rombongan akan melakukan aktivitas di Yogya hingga
hari Sabtu. Rombongan transit di RM. Paradise, Yogya. Rumah makan ini dapat menampung 1000 orang. Tapi tetap saja
kelihatan kecil karena pada saat itu begitu banyak rombongan siswa dan
mahasiswa dari kota lain. Padat berjubel. Maklum memang musim libur. Sepertinya
kita harus waspada. Yogya bakal macet.
Setelah
melakukan ritual pagi di rumah makan ini, rombongan akan berpisah lagi. BPI ke
Rumah Sakit Jiwa GRHASIA, KPI dan Jurnalistik ke UIN Sunan Kalijaga, dan SI ke
Rumah Pintar. Berhubung hari ini hari Jumat, salat Jumat di lokasi
masing-masing.
Di
Rumah sakit jiwa GRHASIA. Lokasinya agak jauh bertempat di Kaliurang km. 17
daerah Pakem. Rumah sakita ini adalah rumah sakit pemerintah DIY, sudah ISO.
Rombongan disambut oleh Humas RS diajak berkeliling bangsal melihat kondisi
pasien. Beberapa mahasiswa ragu-ragu, aman nggak ya. Tapi petugas di situ meyakinkan
bahwa semuanya akan baik-baik saja. Hanya tidak diizinkan mengambil gambar.
Jepret-jepret tidak boleh. Mahasiswa berdialog dengan petugas sambil
berkeliling bangsal. Berbagai hal ditanyakan. Maka terkuaklah kenyataan bahwa
beberapa pasien diambil dari jalanan. Sebagian lagi ada yang stres karena
skripsi, juga ada yang karena cinta. Nauzubillahi min zalik. Mengharukan.
Petugas membolehkan berdialog dengan beberapa pasien. Awal percakapan masih
connect. Beberapa menit kemudian ngawur. Ya, beberapa terapi dan penanganan
pasien dijelaskan oleh petugas. Oh, ya,
untuk masuk ke rumah sakit pengunjung bayar Rp 15.000,- per kepala. Tapi
tenang saja, semua sudah ditangani oleh pihak travel.
Di UIN
Sunan Kalijaga. Rombongan KPI dan Jurnalistik disambut dengan hangat. Ada
Dekan, kajur dan beberapa orang dosen. Setelah melakukan presentasi, dialog,dan
penanyangan film dokumenter, rombongan diajak ke ruang multipurpose di lantai 2
gedung serbaguna. Di tempat ini mahasiswa berinteraksi dengan mahasiswa UIN. Di
sini ada laboratorium radio, televisi, dan studio foto. Mahasiswa antusias
menanyakan beberapa program yang dikelola oleh mahasiswa UIN, bagaimana
melakukan proses produksi radio dan tv kampus. Dan masih banyak lagi. Yang tak
kalah seru, Putri Citra Hati, mahasiswa KPI, mencoba siaran di radio kampus.
Woooo mantap.
Di
Rumah Pintar. Sebelum masuk, Mas Delvi mengurus tiket dulu. Biaya per orang Rp
15.000,-. Tenang. Ini urusan travel. Yuk, segera mencari tahu apa saja yang ada
dalam ruangan ini. Di gedung yang menjadi pintu masuk, rombongan menemui ulasan
sejarah Yogya dan juga republik ini. Keluar dari gedung ini menuju gedung di
sebelahnya, rombongan dapat melihat dan mempelajari berbagai hal. Di lantai
satu bagian depan kita disambut dengan akuarium raksasa. Tentu saja ikan yang
hidup di dalamnya besar-besar. Melangkah sedikit ke dalam, ada dinosaurus.
Replika, maksudnya. Sejarah kehidupan manusia dan binatang zaman dulu. Terus melangkahkan kaki ke dalam, di sinilah
di pajang berbagai kreasi hasil ilmu pengetahuan dan teknologi. Menakjubkan.
Beberapa mahasiswa mencoba berbagai peralatan yang ada di tempat itu. Ada
petugas yang bisa membantu. Bergerak ke
atas melalui jalan melingkar sampailah di lantai dua. Di tempat ini lebih
banyak lagi hasil penelitian ilmu alam, antariksa, iptek, sosial, budaya, dan
lainnya. Pokoknya komplit. Sebelum keluar mampir dulu ke pasar buku. Ya,
setelah memilih beberapa, eh rupanya buku baru yang aku baca di bus ada juga di
situ. Harganya? Hanya sekitar 25% dari harga bukuku. OMG.
Selepas
Jumat rombongan akan bertemu di Rumah Makan Lestari. Seperti biasa
salat(perempuan) dan makan siang. Setelah menunggu agak lama bis 5 BPI baru tiba. Sekitar pukul 15.00. Rasanya
mereka sudah lapar. Memang daerah Pakem tempat rumah sakit itu jauh. Wajar bila
telat. Ya, apa boleh buat. Kami meninggalkan mereka dan berharap segera
menyusul. Kali ini rencana berubah lagi. Mestinya ke pusat kerajinan batik di
Beteng dilanjutkan ke Parangtritis. Tapi karena waktunya tidak memungkinkan,
acara diubah. Ke Parangtritis dulu, sehabis makan malam baru bisa ke Beteng.
Oke,
sajalah. Daripada lama bermusyawarah mufakat malah lebih banyak menghabiskan
waktu. Fleksibel bukankah lebih asyik? Bus bergerak menuju Parangtritis. Tidak
lama, bus 5 pun menyusul. Rombongan berkumpul lagi di tempat ini. Senang
rasanya melihat keriangan mahasiswa bermain di laut. Penat hilang.
Ssssssssssttttt. Ada yang ulang tahun. Pak Ainur Rapik. Nikmatilah hadiah ulang
tahun dari mahasiswa. Pak Rapik diangkat lalu dilempar ke laut. Byurrr. Basah
semua. Selamat ya, Pak.
Jelang
petang, rombongan kembali ke Lestari untuk makan malam. Kehangatan diselingi
canda tawa menjadi latar suasana malam itu. Seperti biasa Mas Delvi menyilakan
para DPL untuk bersantap sambil menanyakan mau minum apa?
“Jus
tomat.” Kata Pak Amin.
“Jus
sirsak.” Kata Mas Pijay. Eh, maaf. Pak Puji. Dan banyak lagi pesanan lainnya.
“Jus
oli.” Pesanan Pak Aji.
“Pake
es, Pak?” Mas Delvi kembali bertanya.
“Ya,
iyalah Mas Delvi. Jus itu kan pakai es, kalau tidak jadinya ju tomat, ju
ir-ak.” Tawa membahana. Saya sendiri tetap setia dengan minuman kesukaan saya.
“Mas
Delvi, saya...,” belum selesai bicara.
“Teh
manis jambu panas.” Rupanya Mas Delvi sudah tahu.
“ Oh,
terima kasih. Tidak pakai es, ya.”
Hening
sejenak, saya menyadari kekeliruan saya.
“Maaf,
Mas Delvi. Teh panasnya tetap pakai es. Kalau tidak, jadinya teh pana.”
Hahhahah.
Suasana menjadi riuh. “Ahli bahasa (narsis) menyadari kesalahannya.” Ujar Bu
Nur. Sumpah lho. Baru kali ini saya
melihat bu Manah tertawa sampai mengeluarkan air mata.
Lestari,
terima kasih santap malammu kali ini. Perjalanan dilanjutkan ke Beteng, tempat
pembuatan batik. Dari Beteng menuju Hotel Ogh Doni untuk istirahat. Tapi
sayang, kalau melewatkan malam di Yogya dengan tidur saja. Tahu ke mana
tujuannya? Malioboro, pastilah. Malam di Yogya identik dengan Malioboro. Let’s
go. Keluar malam tidak termasuk dalam itinerary. Hanya inisiatif bersama.
Sabtu
di hotel Ogh Doni. Setelah sarapan rombongan kembali disibukkan dengan
memasukkan travel bag ke bus. Check out. Perjalanan hari ini adalah kunjungan
sejarah. Dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ke kawasan Malioboro lalu ke
Candi Borobudur. Setelah mengunjungi
Keraton, bus 1 minta diri untuk tidak ke kawasan Malioboro dan langsung menuju
Borobudur dengan berbagai pertimbangan sebab hari itu Yogya sangat padat. Tiket
Borobudur harus disiapkan lebih dulu. Bus lainnya menyusul. Sebelum ke Borobudur, salat dan makan siang
di Rumah Makan Baledono Salam. Di kawasan ini ada open kitchen bakpia. Bisa
melihat langsung pembuatan bakpia, salah satu penganan khas Yogya. Ternyata bus
4 menyusul kami. Jadi dua bus tiba lebih awal di Borobudur.
Borobudur
mendung menghitam. Beberapa menit berlalu titik-titik air mulai jatuh. Semakin
deras. Ojek payung pun berdatangan. Jadilah kami komunitas berpayung. Seorang
guide menemani rombongan berkeliling Borobudur. Tempat ini tetap saja memukau
meski sudah beberapa kali mengunjunginya. Takjub. Sangat disayangkan bila bagian dari keajaiban
dunia ini tidak pernah disaksikan oleh anak bangsanya sendiri. Termasuk
mahasiswa PPL. Tidaklah mungkin meninggalkan Yogya tanpa wisata sejarah. Yogya
selalu menyimpan kharisma. Saya kira banyak orang berpendapat sama. Magrib
tiba. Bus 1,2,3,4,dan 5 meninggalkan area parkir.
Masih
di daerah sekitar Borobudur, rombongan transit salat dan makan malam di RM.
Kampung Ulu. Tempatnya bagus dan sangat luas. Sepertinya di sini akan dibangun
resort. Santap malam usai. Saatnya menyiapkan stamina untuk kembali ke Bandung
melalui jalur selatan berkelok-kelok naik turun. Menegangkan. Beberapa
mahasiswa minta obat lagi, juga siap-siap kantong plastik. Semoga dalam
perjalanan menuju Bandung semuanya selamat. Saya yakin itu menjadi doa kami
semua. Malam sunyi. Sesekali Pak sopir memutar lagu. Bunyinya lembut. Belum
sampai di Bandung, azan subuh sudah berkumandang. Pak Sopir menghentikan
mobilnya di Sari Manis. Sebuah tempat peristirahatan sekaligus juga pusat
oleh-oleh. Kelima bus bertemu kembali di tempat ini setelah semalaman menempuh
perjalanan panjang. Subuh selesai. Lega rasanya. Berangkat lagi. Kali ini
rombongan akan transit di Rumah Makan Kampung Nagrek. Tapi sebelum sampai...
sesuatu terjadi. Sopir kami, Pak Ragil mungkin kelelahan. Bus 1 menyenggol
truk. Spion bus berpindah ke tenda yang menutupi badan truk. Tapi semuanya
masih aman. Co-driver memberi aba-aba dengan baik. “Manual saja,” kata Mas
Bawal.
Menggapai Damai di Bandung (II)
Bus
parkir di Kampung Nagrek. Makannya lesehan di atas balai-balai. Nasi goreng,
telur dadar plus teh tawar. Beberapa kawan minta gula. Di piring lalapan ada
daun mint. Teh manis jambu panas plus daun mint. Hmmm... aromanya wangi
menyegarkan. Ditambah pijat plus-plus. Plus injak plus jepret (jangan pikir
negatif ya). Tukang pijatnya Bu Yana dan Mas Delvi.
Saatnya
antre mandi. Airnya bermasalah, kurang lancar. Jadinya hanya mencuci yang
penting-penting. Heheh. Biasa saja. Tidak mandi pun masih oke.
Menuju Darut
Tauhid Aa’Gim. Parkir agak jauh dari lokasi karena lokasi parkir yang biasa
digunakan sedang difungsikan untuk pemilihan walikota Bandung. Jalan kaki
mendaki. Tapi ini lebih bagus buat kesehatan. Udaranya sejuk masih pagi pula.
Rombongan diterima di Masjid Daarut Tauhid di lantai 2. Di lantai bawah
berjejer kamar mandi dan tempat wudhu. Bersih dan wangi. Rasanya ingin mandi
lagi. Semua tertata rapi. Pihak manajemen memperkenalkan berbagai unit usaha
atau kegiatan yang dilakukan untuk berdakwah. Ada televisi, radio, pesan
pendek(sms), dan banyak lagi. Setelah itu seorang trainer, adik Aa’Gym juga
menyampaikan beberapa hal. Terjadi dialog. Semuanya usai menjelang zuhur.
Rombongan ikut salat berjamaah zuhur di tempat ini. Dilanjutkan dengan melihat
berbagai unit usaha baik ekonomi maupun pendidikan yang tersebar di kompleks
itu. Tidak lupa makan siang di kompleks ini juga. Sejuk dan damai.
Hari
sudah siang. Perjalanan akan dilanjutkan ke Tangkuban Perahu. Kali ini wisata
alam. Subhanallah. Merinding juga melihat kawah gunung itu. Hijau mengepul.
Asap belerang merebak. Pukul 17.00 tempat ini sudah ditutup. Rombongan pun
diantar pulang. Sebelum check in di hotel Alam Permai, kami makan malam di
Rumah Makan Grafika, Cikole. Sejuknya
bukan main. Rumah makan yang ditata indah berlatar gunung dan pohon pinus. Usai
makan malam, DPL dan Tour operator meeting dulu. Tampaknya ada yang penting.
Rupanya keinginan untuk mengunjungi Istiqlal. Maka disepakati bahwa besok
rombongan harus meninggalkan Bandung pukul 07.00. Bila sampai di Jakarta pukul
10.00 kemungkinan besar bisa mengunjungi Istiqlal. Ini Pengumuman penting.
Bandung
semakin malam. Waktunya check in. Istirahat di hotel Alam Permai untuk energi
besok pagi. Harus check out sepagi mungkin. Subuh tiba. Semua bersiap.
Selanjutnya, manusia hanya mampu berencana. Malamnya ada mahasiswa yang
terserang asma tapi baru melapor usai subuh. Segera bu Fenny mengantar ke
klinik. Untung ada klinik 24 jam tidak jauh dari tempat itu. Keberangkatan pun
tertunda sekitar setengah jam. Masih
dengan harapan bisa ke Istiqlal. Tapi sungguh Tuhan berkehendak lain. Di tengah perjalanan bus 1 mengalami
gangguan. Kelima bus berhenti. Kru saling membantu. Bisa ditangani sekitar
setengah jam kemudian. Pupuslah harapan itu. Tapi sekali lagi itu bukan
kehendak manusia. Kita percayakan saja pada rencana Allah.
Dari
LIPI Jakarta ke Ancol, menggenggam harap
Maka
perjalanan pun dilanjutkan ke LIPI Jakarta untuk semua jurusan. Rombongan akan
diterima pukul 13.00. Karena kami tiba lebih awal, ada kesempatan untuk makan
siang dulu di halaman LIPI. Duduk lesehan di rumput hijau menikmati sekotak nasi. Setelah itu salat di masjid
LIPI. Sesuai jadwal, kami pun diperkenankan masuk ke ruangan. Di tempat ini
diperkenalkan bentuk-bentuk penelitian yang dilakukan, dan kemungkinan
terbukanya bentuk kerja sama penelitian. Banyak hal disampaikan oleh tiga orang
pembicara. Inilah kunjungan terakhir ke instansi. Hari ini adalah hari ke
tujuh. Senin, 24 Juni 2013.
Usai
sudah perjalanan ini. Sebelum menuju Merak masih ada sisa waktu untuk menikmati
senja di Pantai Ancol. Semua bis mengarah ke sana. Macet? Biasa. “Bagus juga
kalau macet. Pedagang berdatangan.” Kata sopir kami, Pak Ragil. Lalu saya
menimpali,”itu namanya macet membawa rezeki.” Karena macet ini pula Mas Delvi
membagikan nasi kotak kepada pedagang jalanan itu. Tangan terulur dari dalam
mobil disambut oleh mereka dengan senyum sumringah. Tak terdengar ucapan terima
kasih tapi senyumnya sudah mewakili.
Di
Ancol. Salat dan makan malam di Saung Kuring. Karena belum lapar, saya minta
wadah untuk membungkus makanan. Mungkin bisa makan malam di bus.
“Satu saja, Bu?” tanya pelayan.
“Ya.” Jawabku.
“Satu saja?” Pelayan kembali
bertanya.
Kali ini Mom Manal
menjawab,”Dua saja.” Kami bertatapan lalu tertawa.” Ya, Dua saja.”
Tiba-tiba ...”Tiga atau empat.”
Kata bu Muzayana.
Hahahha mau juga rupanya.
Pulang
Malam
kian merangkak. Bus melaju ke Merak. Seolah berpacu dengan waktu dan kembali
berharap agar semua bus dapat menyeberang bersama. Tapi apa boleh buat. Hanya
tiga bus yang berangkat duluan. Dua lainnya masih harus menunggu kapal. Lalu
lintas laut lancar. Kurang dari dua jam, kapal merapat di Bakaueni. Malam semakin
larut. Kantuk tak tertahankan lagi. Tidur hingga subuh menjelang. Bus berhenti
di RM. HR Putra Jatim Way Jepara sekitar pukul 04.30. Saatnya salat dan mandi
lalu sarapan. Bis lain juga sudah tiba. Jadi semua berkumpul lagi.
Beberapa
jam mengaso di tempat ini, perjalanan pulang dilanjutkan. Sesuai kesepakatan,
mahasiswa boleh turun di daerahnya masing-masing. Beberapa orang memang tidak
lagi melanjutkan perjalanan ke Palembang. Pukul 14.00 bus kembali berhenti di
RM. Pagi Sore Teluk Gelam. Makan siang dan salat. Di sini bus tidak lagi saling
menunggu. Bus akan menurunkan penumpangnya sendiri-sendiri. Sekitar pukul
16.30, bus 1 parkir di kampus. Rupanya kami adalah bus yang tiba terakhir.
Alhamdulillah semua selamat. Saya menjabat tangan Pak Ragil, Pak Setra, Mas
Bawal,dan Mas Delvi. Di halaman parkir fakultas ada juga kru travel lainnya.
Kami pun bersalaman. Terima kasih untuk semuanya.
Sekolah
di perjalanan begitu indah. Setiap langkah adalah pengalaman. Pengalaman
keilmuan menjadi hal yang pasti. Banyak hal yang telah kita goreskan. Kerja
sama, saling memahami, mengendalikan diri, jiwa, dan emosi. Juga banyak hal
yang dapat memicu konflik di perjalanan. Tapi kita telah melaluinya dengan
baik. Bukan dengan teori. Tapi sungguh, kita telah melakukannya dengan penuh
kesadaran.
Tiba
saatnya saya merenung. Adakah manfaat dari perjalanan panjang nan melelahkan
ini? Bisa berinteraksi dengan beberapa lembaga dan universitas di tempat yang
berbeda dengan orang-orang yang berbeda, adakah hal ini dapat memberi inspirasi
dan motivasi dalam pengembaraan kita menuntut ilmu? Menciptakan komunikasi baru
dengan kawan seprofesi atau sejurusan dari berbagai belahan kota, tidakkah ini
menambah rasa percaya diri untuk memantapkan keilmuan yang sedang digeluti saat
ini? Tidakkah terbersit dalam hati kita, ke mana langkah kaki akan diarahkan
setelah perjalanan menuntut ilmu saat ini selesai?
Lalu
mengapa ada wisata? Kembali saya merenung mencari jawab. Berdialog dengan
nurani. Mengapa saya harus menafikan melihat keindahan alam yang telah
dikaruniakan Allah? Satu pertanyaan yang tak sanggup kujawab: “Mengapa hanya
delapan hari?”
_________________________________________
**Bu
In: Seorang warga kampus yang sedang belajar menulis abata.